Sabtu, 12 Desember 2009

3 TAHUN PERTAMA …yang Menentukan

Seperti yang Manakah Sikap Anda ?

Sebelum melihat lebih jauh tentang cara kerja otak dan bagaimana jaringan otak anak anda dibentuk, saya ingin anda membaca terlebih dahulu 2 buah cerita gambaran tentang hubungan orangtua dan anak dibawah ini yang berjudul “Puzzle”, yang terinspirasi dari sebuah situs.

Saya memilih cerita “Puzzle” ini karena Rihan, anak pertama kami, sangat senang dengan permainan puzzle sejak usia 2,5 tahun, dengan kemampuan yang sangat baik. Afina, anak kedua kamipun sangat senang dengan permainan puzzle. Di usia 1,5 tahun Afina sudah mahir memasang sekitar 4 gambar puzzle yang masing-masing gambar berjumlah antara 40 s.d. 50 pieces.

P U Z Z L E

Cerita Pertama :

Dengan wajah yang kelihatan sedih bercampur putus asa, namun masih terlihat keinginannya untuk menyelesaikan permainannya, seorang gadis kecil yang sangat lucu itu sedang mendekati mamanya sambil merengek dan membawa mainan puzzlenya yang belum bisa diselesaikannya. “Mama, bantuin Adek selesaiin puzzle ini dong….”, katanya memohon. Tanpa menoleh sedikitpun ke buah hatinya, mamanya yang sedang sibuk membereskan kertas-kertas yang berserakan berkata, “Jangan merengek begitu. Mama tidak suka mendengar anak Mama seperti itu”. Gadis kecil yang sedang menginjak usia 2,5 tahun itu tetap mencoba menunjukkan kepada mamanya puzzle yang dibawanya. “Jangan ganggu Mama dulu ! Adek lihat ‘kan kalau Mama lagi sibuk membereskan ini”.

Dengan rasa marah Adek meninggalkan mamanya, dan tanpa diduga tiba-tiba dia membanting puzzlenya ke lantai. Mamanya menengok, dan mengatakan dengan suara keras, “Adek !! Mama selalu bilang ‘kan… jangan suka melempar mainan seperti itu ! Kalau mau nangis, masuk ke kamar sana, nangis di situ sampai selesai”. Adek berteriak keras-keras sambil berlari ke kamarnya dan membanting pintu, “BRAAKKK…!!”

Cerita Kedua :

Dengan wajah yang kelihatan sedih bercampur putus asa, namun masih terlihat keinginannya untuk menyelesaikan permainannya, seorang gadis kecil lucu yang sedang menginjak usia 2,5 tahun itu sedang mendekati mamanya sambil merengek dan membawa mainan puzzlenya yang belum bisa diselesaikannya. Melihat kedatangan buah hatinya, mamanya yang sedang sibuk membereskan kertas-kertas yang berserakan itu berhenti sebentar dan berkata, “Kenapa Avi kok sedih begitu?”. “Avi enggak bisa selesaiin puzzle ini. Bantuin dong Ma….”, katanya memohon. Mamanya yang masih tetap melanjutkan membereskan pekerjaannya itu melihat sebentar ke puzzle, dan berkata, “Puzzle yang warna merah itu coba Avi pasangkan di kanan-atas”. Gadis kecil itu berhenti merengek dan mencoba memasang puzzlenya lagi. Sebentar kemudian Avi datang ke Mamanya lagi sambil merengek, “Masih enggak bisa tuh Ma…”. Mamanya menengok ke Avi dan berkata, “Mama tidak bisa bantuin Avi sampai Mama menyelesaikan pekerjaan Mama”.

Avi kelihatan marah, dan kemudian membanting puzzlenya ke lantai. Mamanya melihat Avi dengan perasaan sedih, dan berkata, “Avi coba kesini”. Gadis kecil itu mendatangi mamanya dan duduk di pangkuannya. “Avi marah sama puzzle itu ‘kan… Nanti kita pasang sama-sama. Avi bantuin Mama dulu membereskan pekerjaan Mama ya…”. Gadis kecil yang lucu itu tersenyum dan segera ikut membantu mamanya membereskan kertas-kertas yang berserakan.

Dua cerita diatas menggambarkan bagaimana seorang ibu menangani anaknya yang sedang frustasi dengan cara yang berbeda. Pada cerita pertama, jika kejadian tersebut dialami oleh anak terus-menerus, dia akan menangkap bahwa kebutuhannya tidak menjadi hal yang penting bagi orangtuanya. Dia merasa bahwa orangtuanya tidak mau mengerti tentang dirinya. Ketika dia frustasi, dia merasa bahwa tidak ada orang tempat bergantung. Gadis kecil itu merasa tidak dihargai, dan diapun tidak menghargai orang lain, sehingga akhirnya dia tidak bisa mengendalikan diri.

Pada cerita kedua, gadis kecil tersebut belajar tentang keberadaan dirinya yang dianggap penting, belajar tentang arti sebuah bantuan, hubungan kerjasama saling menguntungkan dengan orang lain, serta belajar bagaimana perasaan frustasi bisa diikuti oleh perasaan senang. Dia belajar bagaimana orangtuanya mau mengerti tentang dirinya. Jika kejadian seperti ini dialaminya secara terus-menerus, dia akan merasa bahwa dirinya dihargai, dan diapun akan menghargai orang lain. Walaupun ada rasa frustasi terhadap puzzlenya, dia banyak belajar tentang arti sebuah penghargaan dan tanggung jawab.

Kejadian diatas adalah sebuah bentuk interaksi sehari-hari yang sering terjadi antara anda dengan anak anda, yang mana hal tersebut akan selalu diserap oleh anak anda dalam pembentukan jaringan otaknya yang semakin kuat, dan akhirnya mempengaruhi perilaku dan cara belajar anak anda. Bentuk interaksi yang memberikan ‘pesan’ yang sangat kuat tetapi tidak terlihat dengan nyata bentuknya ini akan memberikan pengaruh pada perkembangan otak dan emosi anak anda.

Nah, sebagai orangtua yang menginginkan anaknya tumbuh dengan sehat secara fisik dan mental, anda tentunya akan berusaha menjadi orangtua seperti pada cerita kedua. Untuk itu, anda perlu mengetahui bagaimana seorang anak berkembang. Tidak hanya segala hal yang terlihat dari luar, tetapi juga perkembangan di dalam diri anak sejak dari kelahirannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar